Oleh : Melfi Abra )*
Dalam era digital yang semakin berkembang, media sosial telah menjadi sarana penting bagi masyarakat untuk berinteraksi dan berbagi informasi. Salah satu fenomena yang muncul dalam lingkungan media sosial adalah keberadaan “buzzer“.
Buzzer adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada individu atau kelompok yang dibayar untuk mempromosikan, membela, atau menyebarkan pesan tertentu di media sosial. Mereka berperan sebagai penggerak opini dan mempengaruhi pandangan masyarakat melalui penyebaran konten yang sesuai dengan tujuan yang mereka dukung. Buzzer dapat beroperasi di berbagai platform media sosial seperti Twitter, Instagram, Facebook, Tiktok dan lainnya.
Pada awal 2000-an, dengan munculnya platform media sosial seperti Friendster, MySpace, dan Blogger, individu mulai memanfaatkan kehadiran mereka di platform tersebut untuk mempengaruhi opini publik dan mempromosikan pesan atau produk tertentu. Pada saat itu, mereka mungkin belum dikenal secara spesifik sebagai buzzer.
Awalnya, pengguna media sosial yang memiliki basis pengikut yang besar atau yang dianggap berpengaruh secara alami (influencer) digunakan oleh perusahaan untuk mempromosikan merek atau produk mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, munculah praktik buzzer yang lebih terorganisir dan seringkali melibatkan individu yang tidak memiliki basis pengikut yang besar secara alami. Mereka bisa saja dibayar untuk menyebarkan pesan atau opini tertentu, dan bisa juga tidak mereka menerima imbalan atas aktivitas tersebut, tapi lebih disebabkan karena simpati dan mengagumi atau fans fanatik yang bertindak sebagai buzzer relawan. Di Indonesia buzzer yang dibayar sering diberikan istilah BuzzeRp atau Buzzer yang menerima Rupiah . Hhhmmm…
Buzzer di Indonesia pada awal tahun 2009/2010-an, ketika digunakan dalam kampanye politik. Buzzer digunakan untuk menyebarkan pesan politik, mempengaruhi opini publik, dan memperkuat citra politik yang diinginkan. Dalam beberapa tahun terakhir, peran buzzer telah meluas ke berbagai isu, termasuk isu sosial, produk komersial, merek, dan lainnya. Mereka memainkan peran penting dalam mempengaruhi opini publik dan menciptakan narasi yang mendukung tujuan yang mereka dukung.
Ketika praktik buzzer semakin terkenal dan menjadi topik perbincangan, muncul kekhawatiran tentang kurangnya transparansi, manipulasi opini publik, dan penyebaran informasi yang tidak akurat. Hal ini telah mendorong perdebatan dan permintaan untuk regulasi yang lebih ketat terkait dengan kegiatan buzzer, serta peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya literasi digital dan kekritisan dalam menghadapi informasi yang tersebar di media sosial.
Saat ini, banyak negara dan platform media sosial sedang mencari cara untuk mengatasi masalah yang timbul dari praktik buzzer, termasuk melalui penerapan regulasi, algoritma deteksi informasi palsu, dan kampanye kesadaran publik.
Di China, buzzer dikenal sebagai “wu mao” atau “lima fen” yang berarti “lima cent” dalam bahasa Mandarin. Buzzer di China sering kali bekerja secara resmi dan “dilicence” oleh pemerintah untuk mempengaruhi opini publik, memperkuat pandangan pro-pemerintah, dan menekan kritik terhadap pemerintah.
Buzzer di Rusia sering terlibat dalam praktik yang disebut “troll farm” atau “fabrika troll” yang diduga merupakan bagian dari upaya propaganda pemerintah. Mereka menyebarkan pesan-pesan yang mendukung kepentingan pemerintah, termasuk dalam konteks politik domestik dan internasional.
Di Amerika Serikat, buzzer sering terkait dengan kampanye politik dan kegiatan pemasaran. Buzzer politik di AS berusaha untuk mempengaruhi opini publik selama pemilihan umum dan menyebarkan pesan yang mendukung atau merugikan kandidat tertentu. Selain itu, ada juga buzzer pemasaran yang bekerja untuk merek atau perusahaan untuk mempromosikan produk atau layanan mereka.
Di Brasil, buzzer sering dikenal sebagai “Robôs da Web” atau “bot internet” yang digunakan untuk memengaruhi perdebatan politik dan sosial. Mereka sering terlibat dalam penyebaran informasi palsu dan kampanye online yang bertujuan untuk mempengaruhi pemilihan umum dan memengaruhi opini publik.
Tentu saja, kiprah buzzer di setiap negara dapat berbeda dan terus berkembang seiring perubahan dalam teknologi dan dinamika sosial. Meskipun buzzer dapat menjadi alat yang kuat dalam mempengaruhi opini publik, penting untuk diingat bahwa transparansi, integritas, dan kebenaran informasi tetap menjadi prinsip penting dalam menghadapi peran mereka di era media sosial.
Buzzer memiliki kemampuan untuk mencapai target audiens yang spesifik. Mereka dapat memengaruhi dan membangun opini di kalangan pengguna media sosial yang dituju, karena mereka memiliki jangkauan yang luas dan pengaruh yang signifikan. Biasanya buzzer memiliki akun media sosial dengan follower dan subscriber yang banyak.
Dengan penggunaan media sosial yang luas, buzzer dapat membantu menyebarkan informasi dengan cepat. Mereka dapat memanfaatkan jejaring sosial mereka untuk menyebarkan pesan tertentu dalam waktu singkat kepada banyak orang. Dengan menggunakan buzzer yang memiliki basis pengikut yang besar, visibilitas merek atau isu dapat meningkat secara signifikan di media sosial. Bagi individu atau selebritas, buzzer dapat membantu meningkatkan popularitas mereka dengan mengatur penyebaran konten atau informasi yang menguntungkan. Ini dapat membantu mereka memperoleh pengikut baru atau mempertahankan basis penggemar yang ada. Untuk tujuan tertentu buzzer sering menerima pesanan endorsement (dukungan berbayar)
Buzzer sering kali lebih fokus pada penyebaran pesan, daripada kualitas konten yang sebenarnya. Mereka dapat mengabaikan aspek penting seperti akurasi, kebenaran, dan keberimbangan informasi. Hal ini dapat menyebabkan penyebaran informasi yang tidak akurat atau bahkan menyesatkan. Buzzer dapat digunakan untuk memanipulasi opini masyarakat dengan menyebarkan pesan yang dibayar tanpa mempertimbangkan kebenaran atau implikasinya. Ini dapat menyebabkan terjadinya polarisasi, terutama dalam isu-isu sensitif atau politik.
Platform media sosial dan pemerintah berkewajiban untuk menerapkan regulasi yang ketat terkait dengan kegiatan buzzer. Platform media sosial seharusnya mengembangkan fitur yang memberikan label atau tanda pada konten yang dibagikan oleh buzzer. Persoalannya adalah, buzzer itu sebagaian besar tidak terlihat dan tidak resmi, sehingga sulit untuk memantaunya. Ibarat buang angin, dia berbau tapi tidak berwujud !
Pendidikan dan literasi digital yang efektif dapat membantu pengguna media sosial untuk menjadi lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima. Orang yang literat mempunyai kemampuan untuk mengenali konten yang tidak akurat, serta memeriksa sumber dan validitas informasi sebelum menyebarkannya.
Setiap pengguna media sosial juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi lebih kritis dan selektif dalam mengonsumsi dan menyebarkan informasi. Menggunakan sumber informasi yang beragam, memeriksa kebenaran klaim, dan melibatkan diri dalam diskusi yang sehat adalah langkah penting untuk mengurangi dampak penyalahgunaan buzzer.
Perusahaan, parpol, individu dan organisasi yang menggunakan buzzer, harus menjalankan kampanye dan bertujuan untuk berinteraksi dengan pengguna secara jujur dan transparan. Hal ini meliputi penggunaan metode pemasaran yang etis dan menyediakan informasi yang akurat tentang produk atau isu yang mereka promosikan. Dalam hal ini, perusahaan juga dapat memilih untuk bekerja dengan pengaruh alami (influencers) yang memiliki reputasi yang baik daripada hanya mengandalkan buzzer.
Buzzer sering kali dimanfaatkan untuk kampanye (campaign). Kampanye bisa saja positif (positive campaign), bisa negatif (negative campaign) , dan bahkan kampanye hitam (black campaign).
Dalam hal memilah, memilih dan menganalisa konten kampanye dibutuhkan kejelian calon konsumen atau calon pemilih . Namun yang sangat perlu diwaspai adalah kampanye negatif (negative campaign) , dan kampanye hitam (black campaign).
Negative campaign (kampanye negatif) lebih berkaitan dengan membandingkan dan menyoroti kelemahan atau kekurangan lawan politik atau pesaing dengan menggunakan informasi yang faktual atau pengungkapan rekam jejak (track record) ke publik / calon pemilih. Kampanye negatif cenderung fokus pada perbedaan kebijakan, prestasi, atau pandangan politik untuk membantu pemilih membuat keputusan yang lebih informatif’
Sedangkan Black campaign (kampanye hitam) merujuk pada serangkaian tindakan atau strategi yang bertujuan untuk merugikan lawan politik atau pesaing dengan cara yang tidak jujur atau curang. Kampanye ini seringkali melibatkan penyebaran informasi palsu (hoaks), fitnah, manipulasi citra, atau penggunaan taktik yang tidak etis. Tujuan utama dari black campaign adalah merusak reputasi lawan politik dengan cara apapun yang mungkin, termasuk menggunakan informasi yang salah atau tidak terverifikasi. Hal ini dapat merusak integritas komunikasi politik dan menyebabkan disinformasi di kalangan pemilih.
Oleh karena itu, penting bagi pemilih untuk mempertimbangkan sumber informasi, memverifikasi fakta, dan memiliki pemahaman yang kritis terhadap pesan yang disampaikan oleh buzzer maupun pihak-pihak lainnya. Mengandalkan beragam sumber informasi dan melakukan penelitian mandiri adalah langkah yang penting untuk membentuk pendapat yang berdasarkan fakta dan cerdas dalam proses pengambilan keputusan politik.
Menkopolhukkam Mahfudz MD dalam salah satu cuitannya di twitter (14/10/2018) pernah menyebutkan bahwa : Negative campaign tidak dilarang dan tidak dihukum karena memang berdasar fakta. Yang bisa dihukum adalah black campaign . Begitu juga Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia, Topo Santoso, menjelaskan beda kampanye negatif dengan kampanye hitam atau black campaign. Dalam hukum kepemiluan, kampanye negatif diizinkan, sedangkan kampanye hitam dilarang dan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Pemilu yang berlaku di Indonesia (UU No 7 tahun 2017)
Untuk menjadi pemilih yang cerdas dan mampu membedakan black campaign, negative campaign, dan positif campaign. Cari sumber informasi yang beragam, jangan tergantung pada satu sumber informasi saja. Carilah berita dan pendapat dari berbagai sumber yang berbeda, termasuk media independen, jurnalisme yang kredibel, dan sumber yang diverifikasi secara akurat. Dengan melihat beragam perspektif, kita dapat memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan menghindari terjebak dalam narasi yang bias atau manipulatif.
Jangan terburu-buru mempercayai informasi yang kita terima. Luangkan waktu untuk memverifikasi kebenaran informasi tersebut melalui sumber-sumber yang terpercaya. Cek fakta dengan beberapa sumber yang berbeda atau menggunakan situs web dan organisasi faktual yang menyediakan analisis dan verifikasi fakta.
Cobalah untuk memahami motivasi dan kepentingan di balik pesan yang disampaikan. Tanyakan diri sendiri siapa yang mungkin mendapat keuntungan atau merugikan dari pesan tersebut. Waspadai pesan yang mencurigakan, sensasional, atau bertujuan untuk memanipulasi emosi tanpa dukungan fakta yang kuat.
Jangan menerima klaim tanpa bukti yang cukup. Ketika mendengar atau membaca klaim dalam kampanye politik, cari bukti yang mendukung klaim tersebut. Perhatikan apakah argumen yang disampaikan didasarkan pada data yang akurat, penelitian yang mendalam, atau bukti nyata.
Waspadai penggunaan bahasa yang emosional, serangan pribadi, atau pemutarbalikan fakta yang digunakan dalam pesan kampanye. Hindari terjebak dalam narasi yang hanya bertujuan untuk memicu emosi dan mengalihkan perhatian dari isu substansial.
Berusahalah mempertimbangkan pandangan yang berbeda dan mencari informasi tentang argumen yang berlawanan. Ini akan membantu kita memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif dan memperkuat kemampuan kita dalam mengidentifikasi pesan yang bias atau manipulatif.
Analisislah bagaimana setiap kandidat atau partai politik menangani isu-isu tersebut dalam rencana kebijakan mereka. Hal ini akan membantu kita dalam mengambil keputusan berdasarkan substansi dan bukan sekadar retorika.
Dengan bersikap kritis teerhadap sebuah informasi, dan berusaha untuk memahami lebih dalam, melakukan penelitian yang mandiri, dan memverifikasi informasi , tentunya akan lebih baik sebelum sebuah keputusan kita buat.
*Penulis adalah Praktisi Pemerintahan/Pamong Senior di Bukittinggi
Tulisan ini telah Publish di Harian Haluan Padang tanggal 6 Juni 2023