Muatan lokal merupakan mata pelajaran pada satuan pendidikan yang berisi muatan dan proses pembelajaran tentang potensi serta keunikan lokal. Muatan lokal diajarkan ditingkat sekolah dasar dan menengah dengan tujuan membekali peserta didik dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk mengenal dan mencintai lingkungan alam, sosial, budaya, dan spiritual di daerah masing-masing.
Di Sumatera Barat, salah satu potensi yang dijadikan muatan lokal adalah tentang budaya Minangkabau dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial di tengah masyarakat yaitu Budaya Alam Minangkabau yang sering juga sisingkat dengan BAM.
Pelajaran BAM pernah diberlakukan pada sekolah formal di Sumatera Barat sekitar tahun 1994 untuk SD dan SMP, serta mulai tahun 1999 untuk SMA/SMK.
Beberapa topik yang pernah dibahas dalam pelajaran Muatan Lokal Budaya Alam Minang Kabau antara lain , Sejarah dan asal usul masyarakat Minangkabau, Adat istiadat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, norma dan pergaulan sosial, seni dan budaya Minangkabau serta falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) ( Adat bersendikan agama Islam, dan Agama bersendikan pada Kitab Allah/Al Quran)
BAM Terhenti
Pembelajaran Muatan Lokal tersebut terhenti setelah keluarnya kurikulum baru tahun 2013 yang sering disingkat K13 atau Kurtilas tersebut. Sebetulnya ada regulasi untuk pemberlakuan muatan Lokal K13 tersebut diatur berdasarkan Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal, namun ada beberapa sebab tidak jalannya muatan lokal Budaya Alam Minangkabau tersebut antara lain:
- Dibutuhkan adanya regulasi berupa Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Surat Keputusan Gubernur dan seperangkat aturan lainnya khusus tentang Mata Pelajaran Muatan Lokal,
- Setelah adanya regulasi tersebut juga harus disusun kurikulum yang didaftarkan di Pusat Kurikulum (Puskur) kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
- Tidak tersedianya guru yang benar-benar berlatar belakang Budaya Alam Minangkabau ,
- Kalaupun tersedia guru berlatar belakang pendidikan yang relevan dan linear untuk muatan lokal tersebut, karena tidak terdaftar di Puskur Kemendibud, maka jam mengajarnya tidak diakui oleh sistem serta tunjangan sertifikasi guru yang mengajarkan BAM tidak bisa dibayarkan.
Menurut hemat penulis, terjadinya keterlambatan dari pemberlakuan mata pelajaran mauatan lokal Budaya Alam Minangkabau diantaranya adalah belum satunya gerak langkah dari stakeholder pendidikan dan pengambil kebijakan di Sumatera Barat. Koordinasi dan penyatuan visi misi dan geraklangkah itu sangat mudah diucapkan, tapi begitu sulit dilaksanakan.
Kurikulum 2013 mulai berlaku tanggal 2 Juli 2014 dengan Permendikbud No 57, 59 dan 59 tahun 2014, Kemudian sebelum sempat diberlakukan, keluar Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Yang ditetapkan 30 September 2014
Dalam lampiran UU Pemerintahan Daerah tersebut dicantumkan bahwa penyelenggaraan pendidikan dibagi menjadi urusan Propinsi dan Kabupaten /Kota. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD dan TK), Pendidkan Non Formal, SD, dan SMP menjadi kewenangan Kabupaten / Kota, Sedangkan SMA, SMK dan SLB menjadi kewenangan Propinsi.
Sejak diluncurkannya aturan tentang Kurikulum 13 ( K13 atau Kurtilas) maka dibutuhkan regulasi dan penyesuaian sistem pendidikan dan penerapan kurikulum di daerah. Karena adanya pembagian kewenangan tingkatan satuan pendidikan, sesuai dengan UU Pemerintahan Daeran baru, maka Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Pendidikan baik di Propinsi, Kabupaten dan Kota juga perlu dirobah.
Persiapan alih kelola ini dimulai sejak bulan Agustus 2015 dan mulai efektif 1 Januari 2017 terlaksana pembagian kewenangan Pengelolaan Pendidikan Menengah oleh Provinsi dan PAUD, SD dan SMP di Kabupaten dan Kota.
Di Sumatera Barat konsentrasi persiapan pemberlakuan Kurikulum 2013 terutama materi muatan lokal, tekendala karena persiapan pengalihan pengelolaan , penyediaan dan perobahan regulasi, materi kurukulum muatan lokal dan faktor non teknis lainnya.
Upaya Menerapkan Kembali BAM
Dampak tidak diajarkan BAM di Sumatera Barat setidaknya 9 tahun ini, sangat dirasakan oleh sebagian besar pada generasi muda Sumatera Barat (terutama suku Minangkabau), mereka tidak paham lagi dengan akar budayanya. Ditambah pula oleh perkembangan teknologi dan informasi bersama arus globalisasi yang sangat deras mempengharuhi pola kearifan lokal Minangkabau yang menjadi kebanggaan di Sumatera Barat menjadi terpengaruh.
Dengan tidak adanya pelajaran BAM, sebetulnya sudah menjadi kerisauan semua pihak yang konsern kepada dunia pendidikan di Sumatera Barat, pendidik, tokoh masyarakat, lembaga adat Minangkabau , orangtua murid, maupun pemerintah daerah selaku pengambil kebijakan. Namun kenapa muatan lokal tersebut belum terlaksana di seluruh Kabupaten / Kota dan sekolah-sekolah di Sumatera Barat ?
Dengan tidak diajarkannya Budaya Alam Minangkabau di satuan pendidikan, tentu akan melemahkan ketahanan budaya Minangkabau sebagai aset karifan lokal . Dikhawatirkan terjadinya penurunan nilai adat dan budaya Minangkabau akibat berbagai pengaruh negative infiltrasi dari budaya global.
Keinginan untuk memberlakukan kembali muatan lokal tentang Budaya Alam Minangkabau terus menguat , apalagi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, dimana ada 10 pokok-pokok pemajuan kebudayaan yang mesti digairahkan lagi, yaitu tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni , bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
. Untuk meningkatkan ketahan budaya harus diperkuat melalui semua lini, terutama melalui Lembaga Adat , Sistem Pendidikan formal, informal dan non formal. Sumatera Barat telah memiliki Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Penguatan Lembaga Adat Dan Pelestarian Nilai Budaya Minangkabau dan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan.
Kemudian di Kabupaten/Kota se Sumatera Barat ada yang sedang proses dan ada yang masih belum membuat perda penyelenggaran pendidikan yang harus disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Walaupun Perda Propinsi Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan telah keluar 4 tahun yang lalu, sampai saat ini, pemberlakuan mata pelajaran muatan lokal yang berisi Budaya Alam Minangkabau belum terwujud sampai sekarang di sekolah-sekolah yang berada di bawah kewenangan Propinsi Sumatera Barat.
Setidaknya ada 3 daerah di Sumatera Barat yang telah memulai kembali mengajarkan materi BAM, walaupun dengan nomenklatur dan kurikulum yang tidak persis sama.
DI Pariaman melalui Perda dan Perwako Tahun 2020 dilaksanakan Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Minang sebagai muatan lokal wajib bagi SD dan SMP/MTS sederajat di Kota Pariaman,
Sedangkan di Bukittinggi Kurikulum Muatan Lokal Budaya Alam Minangkabau dilaksanakan mulai Juli 2022. Dengan nama mata pelajarannya Pendidikan Karakter Budaya Alam Minangkabau (PK-BAM)
Di Kota Solok juga diberlakukan muatan lokal budaya Minangkabau, kembali Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Minangkabau sebagai mata pelajaran wajib pada seluruh SD dan SMP di Kota Solok tanggal 4 Agustus 2022.
Selain dari 3 daerah tersebut, Kabupaten dan Kota lain di Sumatera Barat, telah mewacanakan dan mendiskusikan serta baru akan membahas pemberlakuan kembali muatan lokal tentang Budaya Minangkabau tersebut.
Antara Tekad dan Khawatir
Dari beberapa kali pertemuan yang digagas oleh beberapa kabupaten/kota, Biro Kesejahteraan Rakyat Setda, Dinas Kebudayaan, Dinas Pendidikan, Kementerian Agama se Propinsi Sumatera Barat yang pernah beberapa kali penulis ikuti, diketahui bahwa masing-masing Kabupaten Kota sepakat untuk memberlakukan kembali pelajaran muatan lokal Budaya Alam Minang Kabau, dimana didalamnya akan berintisarikan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
Dari berbagai daerah di Sumatera Barat, tidak terang-terangan menyebutkan muatan lokal Budaya Alam Minangkabau, melainkan membuat judulnya Bahasa dan Sastra Minangkabau seperti halnya di Kota Pariaman dan Kota Solok. Walaupun kontennya pelajarannya menganut ABS-SBK.
Sedangkan di Bukittinggi pemberlakuan muatan lokal tersebut menjadi Pendidkan Karakter Budaya Alam Minangkabau (PK-BAM) yang bermuatan pelajaran Budaya (implementasi Adat Basandi Syarak), dan Program Unggulan Pendidikan Bukittinggi (PUPB) yang bermuatan Ekstra Kurikuler/Ko Kurikuler berupa Aqidah Akhlah, Fiqih, Bahasa Arab Praktis dan Sirah Nabayiah (Sebagai bentuk implentasai Syarak Basandi Kitabullah )
Beberapa daerah Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat khawatir jika materi budaya Minangkabau yang ber-tagline Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) tersebut tidak disetujui oleh Pemerintah Pusat. Karena adanya kecendrungan yang berbau-bau syarak dan kitabullah oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diverifikasi dengan sangat ketat.
Hal itu didasarkan pada asumsi yang berkembang di Sumatera Barat diakibatkan oleh beberapa peristiwa seperti masalah budaya berjilbab di lingkungan sekolah beberapa waktu lalu, yang sampai mengeluarkan SKB 3 Menteri, (Menteri Pendidikan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama dikeluarkan 3 Februari 2021 ) yang berisi aturan, memakai seragam yang identik dengan agama tertentu seperti jilbab yang kontroversial tersebut. Walaupun SKB tersebut dicabut kembali oleh Mahkamah Agung namun image kekhawatiran ditolaknya muatan lokal berbasis budaya ABS-SBK tersebut masih melekat di kalangan dunia pendidikan di Sumatera Barat.
Kekhawatiran untuk ditolaknya atau tidak diakuinya materi Budaya Alam Minangkabau dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) tersebut sebetulnya tidak perlu lagi, karena kehidupan berbudaya di Minangkabau telah diakui oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 Tentang Provinsi Sumatera Barat yang diundangkan tanggal 25 Juli 2022 , dimana dalam Pasal 5 huruf C dan penjelasannya disebutkan bahwa: Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/ nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.
Yang dimaksud dengan “adat salingka nagari’ adalah adat yang berlaku dalam suatu nagari sesuai dengan prinsip adat yang berlaku secara umum dan diwarisi secara turun temurun di Minangkabau, serta menjadi sarana mediasi bagi penyelesaian permasalahan warga adat di nagari tersebut.
Dengan demikian, muatan lokal Budaya Alam Minangkabau yang berisi Adat Basandi Syarak , Syarak Basandi Kitabullah telah dijamin oleh Negara melalui peraturan perundangan dengan hierarkhi yang tinggi.
Untuk mewujudkan kurikulum muatan lokal BAM, perlu adanya persamaan persepsi , tekat, kemauan, dan upaya yang kuat bagi seluruh pengambil kebijakan di Propinsi , Kabupaten dan Kota se Sumatera Barat
Kendala terlambatnya penerapan kurikulum muatan lokal seperti belum adanya regulasi, belum adanya sumber daya pendidik, dan belum adanya kurikulum , perlu menjadi perehatian semua pihak. Karena semakin lama, semakin jauhlah generasi muda kita tercerabut dari akar budayanya. )* Penulis adalah Praktisi Pemerintahan / Staf Ahli Walikota Bukittinggi
Setelah terhentinya pembelajaran Budaya Alam Minangkabau sejak tahun 2014 (lebih kurang 9 tahun) kita berharap pada adat dan budaya lokal kembali digali, diajarkan dan diwariskan, agar bisa menjadi penyaring budaya global yang masuk melalui berbagai media yang belum tentu cocok dengan adat dan budaya yang kita miliki secara turun temurun .
Diperlukan adanya gerakan massif yang koordinir oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, karena permasalahannya menyangkut beberapa wilayah administratif pemerintahan dalam satu propinsi. Tentunya perlu disupport secara aktif oleh semua Pemerintah Kabupaten dan Kota serta pihak terekait lainnya. Konten, kurikulum, maksud, tujuan , pemberlakuan pelajaran muatan lokal BAM perlu dibicarakan, disepakati, dilaksanakan secara serius oleh Kabupaten dan Kota se Sumatera Barat.
#Tulisan ini telah dimuat di Harian Haluan Edisi 20 Mei 2023