Oleh: Melfi Abra
Flexing sering juga disebut sebagai slang word yang sering digunakan untuk merujuk kepada perilaku orang-orang yang kerap memamerkan kekayaannya di media sosial.
Flexing adalah tindakan memamerkan atau menunjukkan kekayaan atau kemewahan seseorang dengan cara yang berlebihan atau tidak wajar, terutama melalui media sosial. Flexing dapat dilakukan dengan memposting foto atau video yang menunjukkan barang-barang mahal atau gaya hidup mewah seperti mobil, perhiasan, atau pamer aktifitas berbiaya mahal dan mewah seperti liburan/plesiran, pesta yang diselenggaran secara berlebih-lebihan , dan lain-lain.
Flexing sering dilakukan oleh orang yang ingin memperlihatkan prestise atau status sosial mereka, tetapi juga dapat menjadi kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Namun, terkadang Flexing juga dapat menimbulkan kesan yang salah atau tidak akurat tentang kehidupan seseorang, serta dapat memicu rasa iri atau dengki dari orang lain.
Akhir-akhir ini, kita dihebohkan oleh beberapa kasus kecurangan, penipuan, korupsi dan pelanggaran etik dan pelanggaran hukum yang dipicu oleh Flexing yang dilakukan oleh pribadi, keluarga atau kelompok. Flexing bisa sebagai pemicu persoalan, dan bisa juga sebagai pintu masuk “mengulik dan menggoreng” persoalan lain yang mungkin saja berhubungan atau tidak berhubungan dengan persoalan sebenarnya. Fenomena Flexing tersebut merambah mulai dari masyarakat awam, selebritis, publik figur dan pejabat publik.
Masih segar diingatan kita contoh kasusnya seperti Crezi Rich yang berhasil mengelabui para investor trading dengan usaha BINOMO, Suami Istri Penyelengara Umrah First Travel yang sering mengunggah kegiatan liburannya keliling dunia yang ternyata memakai dana umat, kasus keluarga pejabat pusat dan daerah, kasus anak dan keluarga pegawai Dirjen Pajak yang akhirnya menggelinding bagai bola salju ke kasus gratifikasi, korupsi dan pencucian uang dari pejabat pejabat strategis di kementerian dan istansi pemerintah lainnya.
Kasus Flexing yang dilakukan oleh pejabat dan keluarga pejabat publik lainnya seperti pejabat Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) yang berakhir dinonaktifkan imbas istrinya pamer mobil seharga ratusan juta. Flexing Kepala Dinas Kesehatan Lampung, Istri Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Timur, dan kasus Flexing lainnya yang sedang heboh di media informasi Indonesia saat ini.
Kasus lain yang juga pernah heboh didunia Internasional lainnya seperti, kasus Ray Hushpuppi seorang selebriti media sosial Nigeria yang populer karena memamerkan kekayaan dan gaya hidupnya yang mewah di media sosial, ditangkap pada tahun 2020 atas tuduhan penipuan senilai jutaan dolar. Kehidupan mewah Hushpuppi yang sering diunggah di media sosial menjadi bukti dalam kasus tersebut, dan menjadikannya contoh nyata tentang bagaimana Flexing dapat menipu dan merugikan orang lain.
Berikutnya kasus Fyre Festival, adalah acara musik eksklusif yang diadakan pada tahun 2017 di Bahama yang mengecewakan pengunjung karena tidak sesuai dengan iklan dan janji yang diberikan. Penyelenggara Fyre Festival mempromosikan acara tersebut dengan memamerkan gaya hidup mewah dan pesta pantai mewah di media sosial, yang menarik minat banyak orang kaya dan selebriti. Namun, pada kenyataannya, acara tersebut terbukti sebagai kegagalan besar dan menjadi contoh nyata tentang bagaimana Flexing dapat menyesatkan dan merugikan orang.
Kasus penipuan beberapa influencer media sosial telah terlibat dalam kasus penipuan di mana mereka mempromosikan produk atau layanan yang tidak layak atau tidak bekerja, hanya untuk memperoleh keuntungan. Hal ini menunjukkan bagaimana Flexing dapat digunakan untuk menipu orang dan merugikan konsumen.
Beberapa pejabat publik di Indonesia lainnya juga pernah terlibat dalam kasus Flexing karena menggunakan jet pribadi untuk perjalanan dinas atau liburan ke beberapa tempat di Indonesia. Tindakan tersebut mendapat kritikan dari masyarakat karena dianggap membuang-buang uang negara.
Tentu saja masih banyak contoh-contoh kasus lainnya yang tak kalah hebohnya dan masih mudah diakses peristiwanya melalui jejak digital. Contoh kasus-kasus di atas menunjukkan bagaimana Flexing oleh pejabat public, tokoh publik maupun siapapun, dapat menciptakan citra negatif dan menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Hal ini menunjukkan pentingnya etika dan integritas dalam berperilaku, terutama bagi pejabat public dan tokoh publik yang harus menjadi contoh dalam bertindak dan berbicara di depan publik.
Ruang publik saat ini tidak saja di ruang nyata, tapi juga dijagat maya seperti flatform media sosial dan media digital lainnya. Ketika terjadinya suatu sorotan dari warganyata maupun warganet yang merasa gerah dengan Flexing , maka akan mudah menjadi viral serta bisa saja berdampak luas pada diri, keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat.
Kenapa Harus Flexing ?
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan orang melakukan Flexing, di antaranya:
- Kebutuhan untuk mendapatkan pengakuan sosial. Orang dapat melakukan Flexing sebagai upaya untuk memperoleh pengakuan atau validasi sosial dari orang lain. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka sukses atau memiliki kekayaan dan status sosial yang tinggi.
- Budaya konsumsi yang berlebihan. Budaya konsumsi yang berlebihan dapat mendorong orang untuk memperoleh barang-barang mewah atau eksklusif sebagai tanda prestise atau status sosial. Hal ini dapat memicu tindakan Flexing sebagai cara untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka telah mampu membeli barang-barang mahal tersebut.
- Kompensasi Diri: Orang yang merasa tidak aman tentang diri mereka sendiri atau merasa tidak memiliki nilai yang cukup dalam masyarakat dapat menggunakan Flexing sebagai cara untuk merasa lebih berarti atau penting. Dengan memamerkan kekayaan dan kemewahan, mereka dapat merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri.
- Dendam akan kehidupan masalalu : Ada orang yang masa lalu diri atau keluarganya tidak seberuntung masa sekarang. Maka ketika keinginannya tercapai, apakah itu kekayaan, fasilitas, relasi dan kemudahan lainnya, maka oran-orang yang dendam dengan masa lalunya ia akan cendrung Flexing dan ingin menunjukkan bahwa ia tidak seperti masa lalunya.
- Tekanan sosial: Orang dapat merasa terdorong untuk melakukan Flexing karena tekanan sosial dari teman, keluarga, atau masyarakat umum yang menganggap kekayaan dan kemewahan sebagai tanda kesuksesan atau prestise.
- Kebutuhan. Abraham Maslow seorang psikolog terkenal pernah menulis teori hierarki kebutuhan manusia. Teori ini menyatakan bahwa ada lima tingkat kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi dalam urutan hierarki tertentu, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keselamatan, kebutuhan akan kasih sayang dan rasa memiliki, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri.
Dalam konteks ini, Flexing dapat dikaitkan dengan kebutuhan akan penghargaan atau esteem needs. Kebutuhan akan penghargaan adalah kebutuhan untuk dihargai dan diakui oleh orang lain, dan Flexing sering kali dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh pengakuan tersebut. Orang yang melakukan Flexing biasanya ingin menunjukkan bahwa dirinya sukses, berkuasa, atau punya status yang tinggi, sehingga orang lain akan menghargai dan mengakui dirinya.
Namun, penting untuk diingat bahwa kebutuhan akan penghargaan hanyalah satu dari banyak kebutuhan manusia yang perlu dipenuhi. Selain itu, kebutuhan ini seharusnya tidak mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan lain seperti kebutuhan akan kasih sayang, keamanan, atau aktualisasi diri. Oleh karena itu, sebagai manusia yang berkepribadian baik, kita harus memahami bahwa kebutuhan akan penghargaan hanyalah satu aspek dari kehidupan kita dan bukanlah segalanya. Kita harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain dengan cara yang seimbang dan sehat, serta tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Meskipun ada berbagai alasan yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan Flexing, namun perlu diingat bahwa tindakan tersebut tidak selalu sehat dan dapat menimbulkan kesan yang salah atau tidak akurat tentang kehidupan seseorang.
Dampak Flexing
Kehidupan Flexing lebih identik dengan perilaku yang ingin memperlihatkan status sosial dan kemampuan finansial seseorang kepada orang lain. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan atau pujian dari orang lain, atau untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih sukses atau lebih berharga daripada orang lain.
Tak sedikit diantaranya yang suka bergaya Flexing tersebut dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam perilaku koruptif, walau kenyataan tidak semua orang yang melakukan Flexing memiliki perilaku koruptif. Tapi gaya hidup Flexing tersebut berpotensi mengundang kecemburuan sosial , dan akan lebih cendrung dicurigai dan menarik perhatian publik . Apalagi bila Flexing dilakoni oleh pejabat publik, pegawai pemerintah atau keluarga nya.
Sementara itu, perilaku koruptif melibatkan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi, seperti uang atau kekuasaan. Korupsi seringkali dilakukan oleh orang-orang yang memiliki akses ke sumber daya publik atau memiliki kekuasaan dalam kebijakan publik. Maka tuntutan lifestyle seseorang yang ingin selalu glamour, hidup mewah, demi gengsi dan mengharapkan penghargaan atas strata sosialnya, bila tidak diimbangi oleh etika, moral dan agama, akan lebih mudah tergelincir pada prilaku korupstif.
Meskipun ada kemungkinan terdapat tumpang tindih antara kehidupan Flexing dan perilaku koruptif, tetapi keduanya tidak selalu identik satu sama lain. Namun, terdapat kemungkinan orang yang hidup dalam kehidupan Flexing memiliki motivasi untuk memperoleh keuntungan atau kekuasaan yang tidak bermoral, yang pada akhirnya dapat membawa mereka pada perilaku koruptif.
Prof Rhenald Kasali dalam akun Youtube pribadinya pernah menyebutkan bahwa , ada sebuah ungkapan asing yang menyebutkan : poverty screams, but wealth whispers, orang-orang yang kaya itu tidak berisik, agak malu membicarakan tentang kekayaan.
Ada juga yang suka pamer saldo rekening banknya yang berjumlah miliaran, padahal hutangnya di bank jauh lebih besar. Ada juga yang pamer jalan-jalan dengan fasilitas VIP, tak tahunya adalah penipu para jemaah haji dan umroh. Masyarakat banyak yang sudah tertipu dibuatnya, bahkan sampai memuja-muja mereka dengan penyematan status sultan, crazy rich, miliarder dan lain sebagainya padahal semua hanyalah kamuflase ataupun fatamorgana dalam media sosial.
Sulit untuk mengatakan bahwa Flexing memiliki pengaruh positif secara umum karena tindakan tersebut lebih sering dianggap sebagai tindakan yang negatif atau tidak etis. Namun, dalam beberapa kasus, Flexing dapat memberikan dampak positif dalam konteks tertentu.
Bagi beberapa orang, melihat foto atau video Flexing orang lain yang sukses dapat memotivasi mereka untuk bekerja keras dan mencapai tujuan keuangan yang serupa. Jika dilakukan secara positif dan bermanfaat, Flexing dapat membantu orang membangun merek pribadi mereka di media sosial dan memperoleh pengikut yang lebih banyak. Flexing juga dapat memicu inovasi dan kreativitas dalam desain produk, teknologi, atau gaya hidup, karena orang yang ingin memamerkan kemewahan mereka akan mencari hal-hal yang lebih eksklusif atau unik.
Namun, perlu diingat bahwa dampak positif dari Flexing sangat tergantung pada konteks dan cara melakukannya. Namun sebagian besar atau lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya. Jika Flexing dilakukan secara berlebihan atau tidak etis, maka dampaknya dapat lebih merugikan daripada menguntungkan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan Flexing secara bijak dan bertanggung jawab.
Dengan mengambil langkah-langkah antisipatif yang tepat, diharapkan terutama pejabat publik dan keluarganya dapat menghindari sikap Flexing yang dapat membahayakan kinerja mereka dan citra negara.
Diperlukan aturan yang lebih tegas terhadap sikap Flexing oleh pejabat publik dan/atau keluarganya. Meskipun sudah ada kode etik yang mengatur perilaku pejabat publik, namun kode etik tersebut seringkali hanya bersifat panduan dan tidak memiliki konsekuensi yang tegas jika dilanggar.
Sebuah aturan yang tegas dapat memberikan konsekuensi yang lebih jelas dan tegas jika terdapat pelanggaran, sehingga dapat menjadi efektif untuk mengurangi perilaku Flexing oleh pejabat publik. Aturan ini dapat berupa peraturan perundang-undangan atau peraturan internal di lembaga atau instansi pemerintah yang berlaku bagi pejabat publik dan keluarganya.
Dengan adanya aturan yang tegas terhadap sikap Flexing, diharapkan dapat mendorong pejabat publik dan keluarganya untuk lebih berhati-hati dalam berperilaku dan bertindak sesuai dengan kode etik dan aturan yang berlaku.
Ketentuan yang ada saat ini antara lain adalah: Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 02 Tahun 2015 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Negara. Kode etik tersebut menyebutkan bahwa seorang pejabat publik tidak boleh memiliki harta yang tidak wajar atau tidak sejalan dengan penghasilan dan pekerjaannya. Kode etik tersebut juga menyebutkan bahwa setiap pejabat publik wajib menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) setiap tahunnya.
Dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f, kode etik tersebut menyatakan bahwa seorang penyelenggara negara dilarang memperlihatkan atau memamerkan harta kekayaannya secara berlebihan atau tidak wajar yang dapat menimbulkan kesan menyelewengkan kewajiban, hak, atau tanggung jawabnya sebagai penyelenggara negara.
Selain itu, aturan mengenai pelaporan harta kekayaan bagi penyelenggara negara juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU PNBKKN). Undang-undang ini menegaskan bahwa setiap penyelenggara negara wajib menyampaikan laporan harta kekayaan setiap tahunnya, yang dituangkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Jadi, aturan-aturan ini bertujuan untuk mencegah praktik korupsi dan memastikan bahwa para penyelenggara negara tidak memperlihatkan atau memamerkan harta kekayaan secara berlebihan atau tidak wajar yang dapat menimbulkan kesan menyelewengkan kewajiban, hak, atau tanggung jawabnya sebagai penyelenggara negara.
Demikian , semoga bermanfaat. *Penulis adalah ASN Praktisi Pemerintahan/Staf Ahli Walikota Bukittinggi
Tulisan ini telah dipublish diu Harian Haluan Padang , Edisi 9 Mei 2023